08 September 2017

Ungkapan Kekecewaan Seorang Anak



Aku tidak pernah ingin memiliki anak. Untuk saat ini, memiliki anak adalah hal terakhir yang aku inginkan dari dunia ini. Ketika hal itu aku sampaikan ke orang lain, banyak orang terheran-heran dan mungkin menganggapku aneh. Aku sendiri terheran-heran dengan apa yang ada dalam pikiran mereka...

Tapi aku memiliki alasan tersendiri.

Berdasarkan artikel dari Wall Street Journal biaya untuk membesarkan seorang anak yang lahir di tahun 2013 saja sudah lebih dari 2 miliar rupiah. Biaya ini merupakan biaya termurah dan setiap anak yang lahir semakin dekat dengan saat ini, biayanya juga semakin meningkat. Perhitungan tersebut juga hanya memperhitungkan kebutuhan pokok hingga umur 18 tahun. Belum termasuk biaya hidup orangtuanya. Belum termasuk bujukan manja agar dibelikan iphone terbaru. Belum termasuk reparasi gopro dan drone selfie yang dibeli pada rengekan sebelumnya.


Namun entah kenapa, aku bukan orang yang suka mengambil resiko. Aku sudah cukup puas bermain dengan resiko hidup di masa lalu, hingga saat ini aku lebih suka bermain aman untuk hidup. Termasuk untuk memiliki anak. Aku tidak ingin memiliki anak yang tidak terjamin bebas resiko karena aku mengalami sendiri resiko hidup itu. Perhitungan tersebut membuatku akan menabung setidaknya 3 miliar rupiah sebelum memiliki seorang anak.

Namun tetap saja, tidak seorangpun dapat dengan mudah mendapatkan uang sejumlah miliar itu. Dibutuhkan usaha dan kerja keras yang besar menghasilkan uang sebesar itu. Disisi lain, salah satu bank besar menawarkan deposito dengan bunga sebesar 6% per tahun atau 0,5% per bulan. Jika aku memiliki 1 miliar rupiah saja, bunga deposito sebesar 5 juta rupiah dari uang tersebut sudah cukup untuk hidup layak di Jogja. Jika 2 miliar maka setengah dari bunga deposito dapat kutabung. Jika 3 miliar, yah aku dapat MENABUNG CUKUP BANYAK untuk menikmati hari tua dengan mewah.

Having children is simply a bad investment for me.

20 March 2017

Sampah Masyarakat

Pada tahun 2014, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma membuat kehebohan. Divisi PSDM Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi membuat seminar dengan tema LGBT. Kalau diingat, saat itu memang isu LGBT sedang panas menjadi pembicaraan berbagai pihak dan ditolak oleh kaum religi.Pada saat itu, kehebohan yang sebenarnya berasal dari kegiatan organisasi mahasiswa langsung meroket menjadi berita daerah, bahkan nasional bagi kalangan mahasiswa psikologi.  Ibarat di film Da Vinci Code, pertentangan terjadi antara ilmu pengetahuan dengan ilmu religiusitas. Untungnya, polisi langsung bertindak. Rektorat pun akhirnya turun tangan. Rektorat turun tangan? Ya, karena saat itu, permasalahan yang terjadi berasal dari organisasi kemahasiswaan fakultas yang difasilitasi oleh Dekanat. Bahkan sebelumnya, rektorat sama sekali tidak mengetahui ide LGBT yang menjadi program kerja yang diajukan oleh organisasi kemahasiswaan fakultas.

Lalu apa intinya?
Tidak semua yang ada di pemerintahan bisa kita salahkan. Jika ada permasalahan, laporlah pada pihak yang memang bertanggung jawab untuk itu. Jangan sedikit-sedikit salahkan presiden. Karena sejatinya, presiden hanya koordinator bagi para gubernur, dan gubernur juga hanya koordinator bagi para bupati dan walikota. Beraspirasi sesuai dengan konteksnya. Lagi-lagi, memahami konteks itu penting agar apa yang kita sampaikan menjadi efektif...
Dan tidak hanya beraspirasi. Beraspirasi tanpa tindakan nyata sama seperti makan tanpa piring. Gimana itu? Ya nggak bisa. Jangan sedikit-sedikit mengkritik. LAKUKAN. Jika tidak suka dengan pemerintah? Jadilah pemerintah! Jika tidak suka dengan lembaga legislatif seperti DPR? Jadilah anggota DPR!

Susah ko, itu kan nggak gampang. YA MEMANG. Tapi kalau kamu berani beraspirasi, kamu juga harus berani menerima aspirasi. Promosikan diri. Jadilah agen perubahan.

Ah yaudah ko, aku diam aja. Ngikut aja.
Lah? Nyerah? Ealah hidupmu kok gak ada nilainya.
Barang yang nggak ada nilainya itu tempatnya dimana? Sampah. Ya.
Jadi kalau kita hanya bisa protes tanpa bertindak, siapa kita?

SAMPAH MASYARAKAT
yang sesungguhnya

13 March 2017

Sarapan Gratis?

Bangun pagi, buka medsos, yang dibanjiri oleh orang-orang yang membela bangun pagi hanya untuk mengambil sarapan gratis. 

Daripada sarapan nikmat itu diberikan gratis ke yang mampu beli tapi nggak sarapan, kenapa sarapan itu nggak diberikan ke yang beneran kurang mampu? Turun ke jalan dan sekolah pinggiran, membagikan sarapan itu ke pihak yang memang tidak mampu.

Akhirnya semua ini hanyalah promosi demi keuntungan perusahaan berkedok aksi sosial. Dan, pemunafikan.

Anda senang dengan promosi itu? I dont care. What I really care is the irony in our society.

02 March 2017

Kenapa mudah disulut isu SARA

Gimana ya, susah. Negara kita itu memiliki ciri khas budaya kolektif layaknya negara timur. Namun diantara banyak negara timur, Indonesia memiliki tingkat keberagaman SARA yang paling tinggi. Padahal budaya kolektif sangat menekan emosi positif dalam golongan dan emosi negatif pada luar golongan. Akibatnya, isu SARA akan sangat empuk di negara budaya kolektif.

Lain dengan negara barat dengan budaya individualis, mereka menekankan emosi negatif kedalam kelompok dan emosi positif keluar kelompok. Akibatnya, mereka lebih mudah merefleksikan diri dalam golongan dan menghargai orang diluar golongan mereka.

Solusinya adalah, melatih penerapan emosi positif dan emosi negatif sesuai konteks peristiwa (kontekstual). Tujuannya jelas agar tidak menyinggung orang di dalam kelompok dan diluar kelompok, serta menghindari konflik horisontal.