S dilahirkan di Medan, di sebuah kampung
kecil di kota tersebut. Ia dilahirkan sebagai 3 bersaudara dan tercatat
memiliki jenis kelamin laki-laki karena memiliki penis. Masa kecil ia lewati
dengan bermain dan bersekolah sebagai seorang laki-laki Ia tinggal dengan kedua
orangtua, kakak laki-laki, dan adik perempuannya. Sampai hingga kelas 4 SD ia
lebih sering merasakan kenyamanan ketika bermain bersama teman-teman perempuan
maupun adiknya. Bentuk fisiknya juga berubah dimana buah dadanya mulai tumbuh
menonjol sehingga ia lebih banyak bermain bersama teman perempuan. Ketika
kelas 2 SMP ia mengalami kekerasan seksual, diperkosa, dan disodomi oleh
tetangganya sendiri, namun orangtua dan keluarganya tidak mengambil tindakan
apapun sehingga ia berulangkali mengalami hal tersebut oleh banyak orang.
Singkat cerita, ia tidak melanjutkan ke
SMA dan memilih untuk tinggal dan bekerja dengan kakaknya di Jakarta. Disana,
ia mulai bertemu dan berkenalan dengan sesama waria yang mengajarinya
berdandan, mengikuti pelatihan kecantikan, dan akhirnya bekerja di salon.
Ketidaknyamanan tinggal dengan kakaknya yang sering mengejek dan mencela diri
maupun pergaulannya membuat ia pergi menuju Bandung dan berkarir disana.
Di Bandung, ia tinggal di sebuah kost dan
memulai usaha warung makan di depannya. Setelah beberapa waktu, rumah kost yang
ia tempati dijual oleh pemiliknya dan ia menyanggupi membelinya dengan cicilan.
Setelah beberapa tahun ia mampu menyelesaikan pembayaran sehingga penghasilan
dari warung makan dan rumah kost mampu menghidupinya dengan baik. Keadaan
berubah drastis ketika ia berkenalan dan menjalin kasih dengan seorang pria.
Pada awalnya pria tersebut bersikap baik dan mengganggap S sebagai wanita, dan
S jatuh cinta pada pria ini. S melakukan tugasnya sebagai seorang wanita yang
taat, memasak, mencuci baju, sedangkan usahanya di warung makan dan rumah kost
diserahkan sang pria.
Namun semakin lama, pria ini menyiksanya
secara fisik. Setiap hari, penisnya diikat dan ditarik ke belakang. Bahkan pria
tersebut tidak memperbolehkan S masuk ke rumahnya sendiri ketika S melakukan
kesalahan atau pulang terlalu malam. Akhirnya semua yang telah ia bangun telah
habis oleh pria ini, sehingga dengan bantuan seorang teman ia pergi ke Solo. Di
Solo, ia bekerja di salon plus-plus dan mulai menjual diri karena tak memiliki
apa-apa lagi. Setelah beberapa waktu tinggal di Solo, keadaan yang tidak
menentu membuatnya pergi ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta, S bekerja dari pagi hingga
sore hari di sebuah salon yang cukup ramai. Malam hari, ia memberikan layanan
seks di daerah stasiun tugu dengan penghasilan hingga Rp. 300.000 per hari.
Tidak lama, ia memiliki rumah kontrakan yang saat ini ia tempati dan sudah 7
tahun ia tinggal disitu. Di kampung Kricak tersebut, masyarakat tidak memiliki prejudice terhadap
kaum waria dan diskriminasi dalam pergaulan. Seringkali, ia diundang dalam
pertemuan RT/RW ataupun komunitas warga. S juga aktif dalam membantu anak-anak
jalanan ketika sakit dengan membantu mengurus jaminan kesehatan untuk berobat
ke rumah sakit. Ia merasa nyaman tinggal disitu karena warga yang menganggapnya
sebagai seorang wanita, walaupun dalam KTP ia disebutkan sebagai pria. Ia juga
memiliki seorang anak adopsi dari jalanan yang ia rawat sejak masih kecil dan
ia mengaku ingin bekerja keras agar puterinya mampu menjadi orang sukses.
Tetapi pada akhirnya, ia tetap sendiri.
Semakin beranjak dewasa, anaknya menyadari bahwa S bukan “ibu” yang
sesungguhnya sehingga ia jarang berada di rumah untuk sekedar menemaninya.
Keluarganya di Medan juga hanya menghubungi ia jika membutuhkan uang. S mengaku
bahwa ia tidak ingin hidup terlalu lama, cukup lah paling lama hingga 10 tahun
lagi. Ia telah melihat banyak waria yang tua tidak memiliki siapa-siapa dan
hidupnya tidak terurus, sehingga tidak ingin melanjutkan hidupnya dalam
kesendirian...
No comments:
Post a Comment