08 June 2015

Perjalanan Hidup Seorang Waria

S dilahirkan di Medan, di sebuah kampung kecil di kota tersebut. Ia dilahirkan sebagai 3 bersaudara dan tercatat memiliki jenis kelamin laki-laki karena memiliki penis. Masa kecil ia lewati dengan bermain dan bersekolah sebagai seorang laki-laki Ia tinggal dengan kedua orangtua, kakak laki-laki, dan adik perempuannya. Sampai hingga kelas 4 SD ia lebih sering merasakan kenyamanan ketika bermain bersama teman-teman perempuan maupun adiknya. Bentuk fisiknya juga berubah dimana buah dadanya mulai tumbuh menonjol sehingga ia lebih banyak bermain bersama teman perempuan. Ketika kelas 2 SMP ia mengalami kekerasan seksual, diperkosa, dan disodomi oleh tetangganya sendiri, namun orangtua dan keluarganya tidak mengambil tindakan apapun sehingga ia berulangkali mengalami hal tersebut oleh banyak orang. 

Singkat cerita, ia tidak melanjutkan ke SMA dan memilih untuk tinggal dan bekerja dengan kakaknya di Jakarta. Disana, ia mulai bertemu dan berkenalan dengan sesama waria yang mengajarinya berdandan, mengikuti pelatihan kecantikan, dan akhirnya bekerja di salon. Ketidaknyamanan tinggal dengan kakaknya yang sering mengejek dan mencela diri maupun pergaulannya membuat ia pergi menuju Bandung dan berkarir disana. 
Di Bandung, ia tinggal di sebuah kost dan memulai usaha warung makan di depannya. Setelah beberapa waktu, rumah kost yang ia tempati dijual oleh pemiliknya dan ia menyanggupi membelinya dengan cicilan. Setelah beberapa tahun ia mampu menyelesaikan pembayaran sehingga penghasilan dari warung makan dan rumah kost mampu menghidupinya dengan baik. Keadaan berubah drastis ketika ia berkenalan dan menjalin kasih dengan seorang pria. Pada awalnya pria tersebut bersikap baik dan mengganggap S sebagai wanita, dan S jatuh cinta pada pria ini. S melakukan tugasnya sebagai seorang wanita yang taat, memasak, mencuci baju, sedangkan usahanya di warung makan dan rumah kost diserahkan sang pria.

Namun semakin lama, pria ini menyiksanya secara fisik. Setiap hari, penisnya diikat dan ditarik ke belakang. Bahkan pria tersebut tidak memperbolehkan S masuk ke rumahnya sendiri ketika S melakukan kesalahan atau pulang terlalu malam. Akhirnya semua yang telah ia bangun telah habis oleh pria ini, sehingga dengan bantuan seorang teman ia pergi ke Solo. Di Solo, ia bekerja di salon plus-plus dan mulai menjual diri karena tak memiliki apa-apa lagi. Setelah beberapa waktu tinggal di Solo, keadaan yang tidak menentu membuatnya pergi ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta, S bekerja dari pagi hingga sore hari di sebuah salon yang cukup ramai. Malam hari, ia memberikan layanan seks di daerah stasiun tugu dengan penghasilan hingga Rp. 300.000 per hari. Tidak lama, ia memiliki rumah kontrakan yang saat ini ia tempati dan sudah 7 tahun ia tinggal disitu. Di kampung Kricak tersebut, masyarakat tidak memiliki prejudice terhadap kaum waria dan diskriminasi dalam pergaulan. Seringkali, ia diundang dalam pertemuan RT/RW ataupun komunitas warga. S juga aktif dalam membantu anak-anak jalanan ketika sakit dengan membantu mengurus jaminan kesehatan untuk berobat ke rumah sakit. Ia merasa nyaman tinggal disitu karena warga yang menganggapnya sebagai seorang wanita, walaupun dalam KTP ia disebutkan sebagai pria. Ia juga memiliki seorang anak adopsi dari jalanan yang ia rawat sejak masih kecil dan ia mengaku ingin bekerja keras agar puterinya mampu menjadi orang sukses.

Tetapi pada akhirnya, ia tetap sendiri. Semakin beranjak dewasa, anaknya menyadari bahwa S bukan “ibu” yang sesungguhnya sehingga ia jarang berada di rumah untuk sekedar menemaninya. Keluarganya di Medan juga hanya menghubungi ia jika membutuhkan uang. S mengaku bahwa ia tidak ingin hidup terlalu lama, cukup lah paling lama hingga 10 tahun lagi. Ia telah melihat banyak waria yang tua tidak memiliki siapa-siapa dan hidupnya tidak terurus, sehingga tidak ingin melanjutkan hidupnya dalam kesendirian...

No comments:

Post a Comment